Pemerintahan kemudian Constantinus I

Pendirian Konstantinopel

ka|jmpl|keping wang yang dicetak oleh Constantinus I untuk memperingati berdirinya Konstantinopel.

Kekalahan Lisinius dianggap merepresentasikan kekalahan dari suatu pusat tandingan kegiatan politik berbahasa Yunani dan Pagan di Timur, bertentangan dengan Roma yang berbahasa Latin dan Kristiani, serta dikemukakan bahawa sebuah ibu kota Timur yang baru seharusnya merepresentasikan integrasi Timur ke dalam Empayar Romawi secara keseluruhan, sebagai suatu pusat pembelajaran, kemakmuran, dan pelestarian budaya bagi keseluruhan Empayar Romawi Timur.[200] Di antara beragam lokasi yang dikemukakan sebagai ibu kota alternatif tersebut, sepertinya Constantinus telah memikirkan mengenai Serdica (sekarang Sofia), sebab baginda dilaporkan mengatakan bahawa "Serdica adalah Romaku".[201] Sirmium dan Tesalonika juga dipertimbangkan.[202] Namun, pada akhirnya Constantinus memutuskan kota Yunani Bizantium, yang pada abad sebelumnya telah dibangun kembali secara ekstensif sesuai pola urbanisme Romawi oleh Septimius Severus dan Caracalla, yang telah mengetahui arti penting strategisnya.[203] Kota tersebut kemudian didirikan pada tahun 324,[204] didedikasikan pada tanggal 11 Mei 330[204] dan namanya diganti menjadi Konstantinopolis ("Kota Constantinus" atau Konstantinopel). kepingan wang peringatan khusus dikeluarkan pada tahun 330 untuk menghormati peristiwa tersebut. Kota baru itu ditempatkan dalam perlindungan relikui Salib Sejati, Tiang Musa, dan relikui suci lainnya, meskipun terdapat sebuah kameo di Museum Ermitáž yang juga merepresentasikan Constantinus dimahkotai oleh tikhe kota baru itu.[205] Figur-figur dewa-dewi lama diganti atau diasimilasikan ke dalam suatu bingkai simbolisme Kristiani. Constantinus membangun Gereja Rasul Suci di lokasi bekas kuil Afrodit. Di kemudian hari terdapat kisah bahawa suatu penglihatan ilahi membawa Constantinus ke tempat ini, dan seorang malaikat yang tidak dapat dilihat orang lain, membawanya menyusuri jalan yang melingkari tembok baru tersebut. Ibu kota ini sering dibandingkan dengan Roma 'lama' sebagai Nova Roma Constantinopolitana, "Roma Baru Konstantinopel".[199][206]

Kebijakan keagamaan

[[Berkas:Constantine I Hagia Sophia.jpg|jmpl|ka|Constantinus Agung, mosaik di Hagia Sofia, s. 1000.]]

Constantinus adalah maharaja pertama yang menghentikan penganiayaan terhadap umat Kristiani, serta membenarkan ajaran Kristian dianuti bersama dengan semua kultus dan agama lainnya di Empayar Romawi.

Pada bulan Februari 313, Constantinus bertemu dengan Lisinius di Milan, tempat mereka menyusun Maklumat Milan. Maklumat tersebut menyatakan bahawa umat Kristiani harus diizinkan untuk menjalankan amalan keimanan mereka tanpa penindasan.[207] Hukuman kerana keimanan mereka banyak mengorbankan mereka dihapuskan, dan hartanah Gereja yang sebelumnya disita telah dikembalikan. Maklumat tersebut tidak hanya melindungi umat Kristiani dari penganiayaan keagamaan, tetapi juga penganut agama yang lain, sehingga mengizinkan semua orang untuk beribadah kepada Tuhan ataupun ilah pilihan mereka. Maklumat serupa sebelumnya dikeluarkan pada tahun 311 oleh Galerius, maharaja senior dalam Tetrarki; maklumat Galerius memberikan hak kepada umat Kristiani untuk mempraktikkan agama mereka, tetapi tidak mengembalikan tanah mereka.[208] Maklumat Milan memuat beberapa klausul yang menyatakan bahawa semua bangunan gereja yang disita akan dikembalikan bersama dengan tanah lain milik umat Kristiani yang sebelumnya mengalami penindasan.

Para akademisi berdebat seputar apakah Constantinus mengadopsi Kekristenan sejak kecil dari St. Helena ibunya, atau apakah baginda mengadopsinya secara bertahap seiring perjalanan hidupnya.[209] Constantinus mungkin mempertahankan gelar pontifex maximus, suatu gelar yang diberikan kepada maharaja sebagai kepala imam agama Romawi kuno hingga Gratianus (memerintah tahun 375–383) memutuskan untuk meninggalkan gelar tersebut.[210][211] Menurut para penulis Kristiani, Constantinus telah berusia lebih dari 40 tahun ketika baginda menyatakan diri bahawa baginda adalah seorang Kristiani, menulis kepada umat Kristiani untuk menjelaskan bahawa baginda percaya kalau kesuksesannya semata-mata kerana perlindungan Allah Kristiani.[212] Sepanjang pemerintahannya, Constantinus mendukung Gereja secara finansial, membangun basilika-basilika, memberikan hak-hak istimewa kepada kaum klerus (misalnya pembebasan dari pajak tertentu), mempromosikan umat Kristiani ke jabatan tinggi, dan mengembalikan tanah yang disita selama masa penganiayaan Diocletianus.[213] Projek bangunan paling terkenal yang baginda prakarsai misalnya Gereja Makam Kudus dan Basilika Santo Petrus Lama.

Tampaknya Constantinus tidak hanya mendukung Kekristenan saja. Setelah meraih kemenangan dalam Pertempuran Jembatan Milvius (312), suatu pelengkung kemenangan—Pelengkung Constantinus—dibangun (315) untuk merayakan kemenangannya. Pelengkung tersebut dihiasi dengan citra dewi Viktoria. Pada saat dedikasinya, dilakukan pengorbanan kepada dewa-dewi seperti Apollo, Diana, dan Hercules. Tidak ada penggambaran simbolisme Kristiani pada Pelengkung tersebut. Bagaimanapun, kerana pembangunannya ditugaskan oleh Senat, ketiadaan simbol-simbol Kristiani kemungkinan mencerminkan peranan Senat pada saat itu sebagai salah satu kubu pagan.[214]

Pada tahun 321, baginda mengesahkan bahawa hari matahari yang terhormat harus menjadi suatu hari istirahat bagi seluruh warga kekaisaran.[215] Pada tahun 323, baginda mengeluarkan suatu dekret yang membebaskan keharusan bagi umat Kristiani untuk berpartisipasi dalam acara pengorbanan imperial.[216] Selanjutnya, keping wang Constantinus tetap memuat simbol-simbol matahari. Setelah dewa pagan dihilangkan dari koinnya, simbol-simbol Kristiani tampil sebagai atribut Constantinus: chi rho di antara kedua tangannya atau di labarumnya,[217] serta di keping wang itu sendiri.[218]

jmpl|kiri|Constantinus membakar buku-buku Arian, penggambaran dari manuskrip abad ke-9.

Pemerintahan Constantinus membentuk suatu preseden terhadap posisi maharaja yang memiliki pengaruh besar dan otoritas sipil tertinggi di dalam diskusi keagamaan yang melibatkan beberapa konsili Kristiani pada saat itu, terutama perselisihan seputar Arianisme. Constantinus sendiri tidak menyukai risiko yang berdampak pada kestabilan sosial yang disebabkan oleh perselisihan keagamaan, dan lebih berharap untuk membangun suatu ortodoksi sejauh memungkinkan.[219] Pengaruhnya atas konsili-konsili Gereja perdana adalah menegakkan doktrin, menyingkirkan bidah, dan mendukung persatuan gerejawi; mengenai ibadah, doktrin, mahupun dogma yang tercakup merupakan wewenang Gereja untuk menetapkannya, di tangan para uskup yang berpartisipasi di dalam konsili.[220]

Peristiwa paling terkemuka, dari tahun 313 sampai 316, para uskup di Afrika Utara bergulat dengan uskup-uskup Kristiani lainnya yang telah ditahbiskan oleh Donatus untuk menentang Sesilianus. Para uskup Afrika tidak dapat meraih kesepakatan dan kaum Donatis meminta Constantinus untuk bertindak sebagai hakim dalam perselisihan tersebut. Tiga konsili regional Gereja dan suatu percobaan lain telah dilakukan sebelum Constantinus memutuskan untuk melawan Donatus dan gerakan Donatisme di Afrika Utara. Pada tahun 317, Constantinus mengeluarkan suatu maklumat untuk menyita tanah gereja milik kaum Donatis dan mengirim klerus Donatis ke pengasingan.[221] Peristiwa yang lebih penting, pada tahun 325, baginda menghimpun para uskup dalam Konsili Nicea, yang secara efektif merupakan Konsili Ekumenis pertama (kecuali Konsili Yerusalem juga diklasifikasikan demikian). Konsili tersebut umumnya dikenal kerana menyelesaikan permasalahan dengan Arianisme dan melembagakan Pengakuan Iman Nicea.

Constantinus memberlakukan ketetapan dalam Konsili Nicea I yang melarang perayaan Perjamuan Tuhan pada hari sebelum Paskah Yahudi (14 Nisan) (lih. Kuartodesimanisme dan kontroversi Paskah). Hal ini menandai secara definitif pemisahan Kekristenan dari tradisi Yahudi. Sejak saat itu Kalender Julian Romawi, suatu kalender matahari, diprioritaskan di atas Kalender Ibrani suryacandra di antara gereja-gereja Kristiani di Empayar Romawi.[222]

Constantinus membuat beberapa undang-undang baru terkait kaum Yahudi, tetapi meskipun beberapa maklumat yang dikeluarkannya tidak menguntungkan mereka, undang-undang itu lebih lunak daripada para pendahulunya.[223] Adalah pelanggaran hukum jika kaum Yahudi mencari penganut ataupun menyerang orang Yahudi lain yang telah menganut Kekristenan.[223] Mereka dilarang memiliki budak dari kaum Kristiani ataupun mengkhitan budak mereka.[224][225] Di sisi lain, klerus Yahudi mendapatkan pengecualian-pengecualian yang sama seperti klerus Kristiani.[223][226]

Reformasi administratif

[[Berkas:0 Constantinus I - Palazzo dei Conservatori (2).JPG|jmpl|lurus|Patung kolosal kepala Constantinus di Museum Capitolini. Patung asli yang terbuat dari marmer ini merupakan akrolitik dengan torso yang terdiri dari kuiras perunggu.[227]]]

Sejak pertengahan abad ke-3, para maharaja mulai lebih memilih anggota ordo ekuestrian daripada senator, yang telah memonopoli jabatan-jabatan imperial terpenting. Para senator dicopot dari komando legiun-legiun dan sebagian besar jabatan gubernur provinsi (sebab mereka dirasa tidak memiliki pendidikan tentera khusus di tengah kebutuhan pertahanan yang mendesak[228]), posisi-posisi tersebut diberikan kepada para ekuestrian oleh Diocletianus dan kolega-koleganya—mengikuti amalan yang diterapkan sedikit demi sedikit oleh para pendahulu mereka. Bagaimanapun, para maharaja itu tetap membutuhkan talenta dan bantuan dari yang kaya raya, yang diandalkan untuk memelihara tatanan sosial dan kepaduan dengan menggunakan suatu jaringan pengaruh yang kuat dan kontak di semua tingkatan. Pengecualian pada aristokrasi senatorial lama mengancam pengaturan ini.

Pada tahun 326, Constantinus membalikkan tren pro-ekuestrian tersebut, mengangkat banyak posisi adminstratif ke pangkat senatorial dan dengan demikian membuka jabatan-jabatan ini bagi aristokrasi lama. Pada saat yang sama baginda mengangkat pangkat para pemegang jabatan ekuestrian yang telah ada menjadi senator, mendegradasi ordo ekuestrian—setidaknya sebagai suatu pangkat birokratis[229]—dalam prosesnya, sehingga pada akhir abad ke-4 gelar perfectissimus hanya diberikan kepada para pejabat menengah ke bawah.

Dengan pengaturan baru yang dilakukan Constantinus itu, seseorang dapat menjadi senator baik dengan terpilih sebagai pretor ataupun (dalam kebanyakan kasus) dengan mengisi salah satu fungsi dalam peringkat senatorial:[230] sejak saat itu, memegang kekuasaan yang sesungguhnya dan status sosial dilebur bersama ke dalam suatu hierarki imperial gabungan. Pada saat yang sama, bersamaan dengan hal itu, Constantinus mendapatkan dukungan bangsawan lama,[231] kerana Senat dapat memilih para pretor dan kuestor, sebagai ganti amalan yang lazim dari para maharaja yang secara langsung menciptakan magistrat (adlectio) baru. Dalam suatu inskripsi untuk menghormati prefek kota (336–337) Ceionius Rufus Albinus, tertulis bahawa Constantinus memulihkan "auctoritas [Senat] yang telah hilang pada zaman Caesar".[232]

Senat sebagai suatu badan tetap tidak memiliki kekuasaan yang signifikan; namun demikian, para senator, yang sepanjang abad ke-3 telah terpinggirkan sebagai orang-orang yang berpotensi memegang fungsi imperial, sekarang dapat menentang posisi-posisi tersebut bersama dengan para birokrat yang lebih baru diangkat.[233] Beberapa sejarawan modern memandang bahawa dalam reformasi administratif ini terdapat suatu upaya oleh Constantinus untuk mengintegrasikan kembali tatanan senatorial ke dalam elite administratif imperial untuk menangkal kemungkinan keterasingan senator-senator pagan dari Kristenisasi peraturan imperial;[234] namun, penafsiran seperti demikian tetap berupa dugaan, mengingat fakta bahawa tidak ada angka pasti mereka yang pindah keyakinan ke Kristiani di dalam lingkungan senatorial lama—beberapa sejarawan mengemukakan bahawa konversi awal dalam aristokrasi lama lebih banyak dari dugaan sebelumnya.[235]

Reformasi Constantinus hanya seputar pemerintahan sipil: para pimpinan tentera, yang sejak Krisis Abad Ketiga telah diangkat sebagai perwira,[236] tetap berada di luar senat, dan mereka baru disertakan oleh anak-anak Constantinus.[237]

Reformasi moneter

[[Berkas:Nummus of Constantine (YORYM 2001 10313) obverse.jpg|jmpl|Sebuah Nummus Constantinus.]]

Setelah inflasi tak terkendali pada abad ketiga, terkait dengan produksi wang fiat untuk membiayai pengeluaran publik, Diocletianus telah berupaya membangun kembali kepercayaan publik dengan mencetak keping wang perak mahupun bilon. Namun, upaya-upaya yang baginda lakukan menemui kegagalan kerana pada kenyataannya mata wang perak tersebut dinilai terlalu tinggi dibandingkan kandungan logam yang sebenarnya, dan oleh sebab itu hanya dapat beredar dengan tingkat diskonto besar. Karenanya pencetakan argenteus perak "murni" tersebut dihentikan tidak lama setelah tahun 305, sedangkan mata wang bilon terus digunakan sampai tahun 360-an. Sejak tahun 300-an, Constantinus meninggalkan upaya apapun untuk memulihkan mata wang perak, dan lebih memilih untuk berkonsentrasi pada pencetakan keping emas (solidus) standar yang baik dalam jumlah besar, 72 kepingnya setara dengan satu pon emas. Keping-keping perak baru (dengan nilai sangat rendah) terus dikeluarkan selama pemerintahan Constantinus kemudian dan setelah wafatnya. Proses penarifan ulang atasnya dilakukan secara berkesinambungan hingga pencetakan emas batangan tersebut dihentikan secara de jure pada tahun 367, dan kepingan perak ini secara de facto dilanjutkan oleh beragam denominasi keping wang perunggu, yang paling penting yaitu centenionalis.[238] Kepingan perunggu ini terus didevaluasi, untuk mempertahankan pencetakan demi menjaga kepercayaan di samping suatu standar emas. Penulis anonim dari De Rebus Bellicis, yang kemungkinan adalah risalah kontemporer tentang tentera, menyatakan bahawa, sebagai suatu konsekuensi dari kebijakan moneter ini, kesenjangan antar kelas semakin melebar: orang kaya diuntungkan kerana kestabilan daya beli kepingan emas, sementara orang miskin harus berhadapan dengan kepingan perunggu yang terus turun nilainya.[239] Maharaja-maharaja di kemudian hari seperti Yulianus yang Murtad berupaya untuk menampilkan diri mereka sebagai penolong kaum humiles dengan memaksakan pencetakan mata wang perunggu yang dapat dipercaya.[240]

Kebijakan moneter Constantinus terkait erat dengan kebijakan keagamaannya. Meningkatnya pencetakan tersebut dikaitkan tindakan-tindakan penyitaan—sejak tahun 331 sampai 336—semua patung emas, perak, dan perunggu dari kuil-kuil pagan, yang baginda nyatakan sebagai harta imperial dan dengan demikian sebagai aset moneter. Dua komisaris imperial untuk masing-masing provinsi diberi tugas untuk mendapatkan patung-patung tersebut dan meleburnya untuk dicetak menjadi keping wang—dengan pengecualian sejumlah patung perunggu yang digunakan sebagai monumen-monumen publik untuk memperindah ibu kota baru di Konstantinopel.[241]

Eksekusi Crispus dan Fausta

Pada suatu waktu antara tanggal 15 Mei dan 17 Juni 326, Constantinus menangkap Crispus, putera sulungnya dari Minervina, dan membunuhnya dengan menggunakan "racun dingin" di Pola (Pula, Kroasia).[242] Pada bulan Juli, Constantinus membunuh Maharani Fausta istrinya dengan menempatkannya dalam sebuah tempat mandi yang panasnya berlebihan.[243] Nama-nama mereka dihapus dari permukaan banyak inskripsi, referensi kehidupan mereka dalam catatan literer dihapuskan, dan kenangan atas keduanya disingkirkan. Eusebius, misalnya, mengedit pujian bagi Crispus dari salinan-salinan kemudian Historia Ecclesiastica karyanya, dan Vita Constantini karyanya sama sekali tidak menyebutkan Fausta ataupun Crispus.[244] Hanya sedikit sumber kuno yang membahas kemungkinan motif Constantinus terkait peristiwa-peristiwa tersebut; semua sumber yang ada itu menyajikan alasan-alasan yang tidak meyakinkan dan secara umum tidak dapat diandalkan.[245] Pada saat eksekusi, secara umum diyakini bahawa Maharani Fausta terlibat dalam hubungan terlarang dengan Crispus atau menyebarkan rumor seperti itu. Berkembang suatu mitos populer, dimodifikasi sesuai legenda HippolitusFaedra, yang beranggapan bahawa Constantinus membunuh Crispus dan Fausta kerana perilaku amoral mereka.[246] Salah satu sumber, Kisah Sengsara Artemius yang utamanya dipandang sebagai karya fiksi, kemungkinan ditulis pada abad ke-8 oleh Yohanes dari Damaskus, terkait secara eksplisit dengan legenda itu.[247] Sebagai suatu interpretasi atas eksekusi-eksekusi tersebut: legenda itu dianggap hanya bertumpu pada "bukti yang paling tipis": sumber-sumber yang menyinggung hubungan antara Crispus dan Fausta baru ditulis di kemudian hari dan tidak dapat diandalkan, serta pengemukaan modern bahawa maklumat-maklumat "saleh" Constantinus pada tahun 326 dapat terkait dengan penyimpangan Crispus tidak bersandar pada bukti apapun.[246]

Meskipun Constantinus menjadikan ahli-ahli warisnya sebagai para "Caesar", mengikuti suatu pola yang dibangun oleh Diocletianus, baginda menjadikan mereka suatu karakter turun-temurun, yang asing bagi sistem tetrarki: para Caesar Constantinus dijaga dengan harapan untuk naik ke Empayar, dan sepenuhnya sebagai subordinasi dari Augustus mereka, sepanjang baginda masih hidup.[248] Oleh karenanya, salah satu penjelasan alternatif mengenai eksekusi Crispus adalah, mungkin, keinginan Constantinus untuk mempertahankan para ahli warisnya yang prospektif, hal ini—dan keinginan Fausta agar yang menjadi pewaris adalah para puteranya bukan saudara tiri mereka—dapat menjadi alasan untuk membunuh Crispus; sementara Fausta yang dieksekusi belakangan kemungkinan dimaksudkan sebagai suatu pengingat bagi anak-anaknya bahawa Constantinus tidak akan ragu-ragu "membunuh keluarganya sendiri ketika baginda merasa hal ini diperlukan".[249]

Kampanye-kampanye kemudian

jmpl|Empayar Romawi pada tahun 337, menampilkan penaklukan Constantinus di Dacia di hilir Danube (arsiran ungu) dan dependensi Romawi lainnya (arsiran ungu muda).

Constantinus menganggap Konstantinopel sebagai ibu kota dan tempat tinggal permanennya. Baginda tinggal di sana hampir sepanjang sisa hidupnya kemudian. Baginda membangun kembali jambatam Trajanus di Sungai Donau (Danube), dengan harapan merebut kembali Dacia, suatu provinsi yang telah ditinggalkan pada masa pemerintahan Aurelianus. Pada akhir musim dingin tahun 332, Constantinus melakukan kampanye tentera bersama dengan kaum Sarmatia untuk melawan suku Goth. Cuaca dan kurangnya makanan mengakibatkan kerugian besar bagi suku Goth: kabarnya, hampir seratus ribu orang meninggal dunia sebelum mereka tunduk pada Roma. Pada tahun 334, setelah rakyat jelata Sarmatia menggulingkan pimpinan mereka, Constantinus memimpin suatu kampanye melawan suku tersebut. Baginda memperoleh kemenangan dalam perang itu dan memperluas kekuasaannya atas wilayah tersebut, sebagaimana diindikasikan oleh sisa-sisa kamp dan benteng di wilayah tersebut.[250] Constantinus memukimkan kembali beberapa orang buangan Sarmatia sebagai petani-petani di berbagai distrik Romawi dan Iliria, serta memberlakukan wajib tentera atas selebihnya ke dalam ketentaraan. Constantinus menggunakan gelar Dacicus maximus pada tahun 336.[251]

[[Berkas:Roman - Imperial Medallion of Constantine I - Walters 59690.jpg|jmpl|lurus|kiri|Medali emas yang dicetak di Nikomedia pada tahun 336–337 untuk memperingati 30 tahun pemerintahannya.]]

Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Constantinus merencanakan suatu kampanye melawan Persia. Dalam sebuah surat yang ditulis kepada raja Persia, Shapur II, Constantinus menegaskan dukungannya pada orang-orang Kristiani Persia dan mendesak Shapur untuk memperlakukan mereka dengan baik.[252] Surat tersebut tidak dapat ditarikhkan. Menanggapi serangan-serangan mendadak di perbatasan, Constantinus mengutus Konstantius untuk menjaga perbatasan timur pada tahun 335. Pada tahun 336, pangeran Narseh menginvasi Armenia (suatu kerajaan Kristiani sejak tahun 301) dan menobatkan seorang klien Persia ke atas takhtanya. Constantinus kemudian memutuskan untuk melakukan sendiri kampanye terhadap Persia. Baginda memperlakukan perang tersebut sebagai suatu perang salib Kristiani, meminta para uskup untuk menemani pasukan dan membangun sebuah tenda dalam bentuk bangunan gereja untuk mengiringinya. Constantinus berencana untuk dibaptis di Sungai Yordan sebelum menyeberang ke Persia. Utusan-utusan Persia datang ke Konstantinopel selama musim dingin tahun 336–337 untuk mengupayakan perdamaian, tetapi Constantinus menolak mereka. Kampanye tersebut lalu dibatalkan kerana Constantinus jatuh sakit pada musim semi tahun 337.[253]

Penyakit dan kematian

[[Berkas:Raphael Baptism Constantine.jpg|jmpl|Pembaptisan Constantinus, sebagaimana digambarkan oleh para murid Rafael.]]

Constantinus telah menyadari bahawa hidupnya di dunia akan segera berakhir. Di dalam Gereja Rasul Suci, Constantinus diam-diam menyiapkan makam baginya.[254] Kenyataannya datang lebih cepat dari perkiraannya. Tidak lama setelah Hari Raya Paskah tahun 337, Constantinus menderita sakit parah.[255] Baginda meninggalkan Konstantinopel untuk mandi air panas di dekat kota ibunya, yaitu Helenopolis (Altinova), di pesisir selatan Teluk Nikomedia (sekarang Teluk İzmit). Di sana, di dalam suatu gereja yang dibangun ibunya untuk menghormati Rasul Lusianus, baginda berdoa, dan di sana baginda menyadari bahawa baginda sedang sekarat. Baginda mencari pemurnian dari dosa dan menjadi seorang katekumen, serta berusaha kembali ke Konstantinopel, walau hanya berhasil sampai daerah pinggiran kota Nikomedia.[256] Baginda memanggil para uskup, dan menyampaikan kepada mereka harapannya untuk dibaptis di Sungai Yordan, tempat Yesus dibaptis sesuai yang tertulis. Baginda meminta agar segera dibaptis, berjanji untuk menjalani kehidupan yang lebih Kristiani seandainya baginda dapat sembuh dari penyakitnya. Menurut catatan Eusebius, para uskup "melangsungkan upacara suci sesuai kebiasaan".[257] Baginda meminta uskup dari kota tempat baginda terbaring sekarat, Eusebius dari Nikomedia yang cenderung mendukung Arian, sebagai pembaptisnya.[258] Mengenai penundaan pembaptisannya, hingga baginda merasa layak, baginda mengikuti kebiasaan pada saat itu yang menunda pembaptisan hingga melewati masa bayi.[259] Hingga sekarang Constantinus dianggap menunda pembaptisannya selama mungkin agar dapat sebanyak-banyaknya terbebas dari dosa.[260] Tidak lama kemudian Constantinus wafat di suatu vila di pinggiran kota yang disebut Achyron, pada hari terakhir dari lima puluh hari perayaan Pentakosta setelah Paskah, pada tanggal 22 Mei 337.[261]

[[Berkas:Constantinian Dynasty, the children of Constantine.png|jmpl|kiri|Dinasti Konstantinian hingga Gratianus (memerintah tahun 367–383).]]

Di dalam laporan Eusebius, wafatnya Constantinus menyusul berakhirnya kampanye Persia. Bagaimanapun, kebanyakan sumber lainnya melaporkan kalau wafatnya terjadi saat kampanye tengah berlangsung. Maharaja Yulianus (keponakan Constantinus), menulis pada pertengahan tahun 350-an, menyampaikan bahawa Empayar Sasaniyah lolos dari hukuman atas perbuatan-perbuatan buruk mereka kerana Constantinus wafat "di tengah-tengah persiapan untuk perang".[262] Laporan-laporan serupa tercantum dalam Origo Constantini, sebuah dokumen anonim yang ditulis ketika Constantinus masih hidup, dan yang mengisahkan wafatnya Constantinus di Nikomedia;[263] Historiae abbreviatae dari Sextus Aurelius Victor, ditulis tahun 361, yang mengisahkan wafatnya Constantinus di suatu tanah di dekat Nikomedia yang disebut Achyrona ketika melakukan mars untuk melawan bangsa Persia;[264] dan Breviarium dari Eutropius, sebuah buku pedoman yang disusun pada tahun 369 untuk Maharaja Valens, yang mengisahkan wafatnya Constantinus di suatu vila pemerintah yang tidak disebutkan namanya di Nikomedia.[265] Dari laporan-laporan ini dan yang lainnya, beberapa kalangan menganggap kalau Vita karya Eusebius telah diedit untuk mempertahankan reputasi Constantinus dari hal-hal yang dianggap Eusebius kurang pantas terkait kampanye tersebut.[266]

Setelah wafatnya, jenazah Constantinus dipindahkan ke Konstantinopel dan dimakamkan di Gereja Rasul Suci di sana.[267] Baginda digantikan oleh ketiga puteranya dari Fausta, yaitu Constantinus II, Konstantius II, dan Konstans. Sejumlah kerabatnya dibunuh oleh para pengikut Konstantius, khususnya keponakan-keponakan Constantinus yang bernama Dalmatius (yang berpangkat Caesar) dan Hannibalianus, diduga untuk menghilangkan potensi saingan dalam suatu suksesi yang sudah cukup kompleks. Baginda juga memiliki dua putri, Konstantina dan Helena, istri Maharaja Yulianus.[268]

Rujukan

WikiPedia: Constantinus I http://www.ucalgary.ca/~vandersp/Courses/texts/jor... http://www.anders.com/lectures/lars_brownworth/12_... http://www.britannica.com/eb/article-9109633/Const... http://www.christtoconstantine.com/ http://www.constantinethegreatcoins.com/ http://www.evolpub.com/CRE/CREseries.html#CRE2 http://www.evolpub.com/CRE/CREseries.html#CRE8 http://findarticles.com/p/articles/mi_hb6404/is_2_... http://www.forumancientcoins.com/numiswiki/view.as... http://www.hermitagerooms.com/exhibitions/Byzantiu...